ORANG MUDA BELUM BOLEH BICARA, ORANG LOKAL BELUM BOLEH BERJAYA

Pernahkah anda mendengar atau melihat sebuah spot iklan berbunyi ”YANG MUDA BELUM BOLEH BICARA”. Apa yang ada di fikiran kita ketika pertama kali melihat iklan tersebut? Di sana digambarkan seorang lelaki tua sedang memainkan peranan seorang lelaki muda ketika bekerja. Versi TV, seorang lelaki muda mesti menyamar menjadi lelaki tua agar diterima presentasinya. Kondisi ini mungkin saja kerap menimpa sebagian angkatan kerja di Indonesia. Senioritas masih menjadi momok, dimana seorang anak kemarin sore mesti setor hormat kepada seniornya jika mau karirnya lebih sukses. Tidak semua memang, tetapi mungkin ada saja. Namun, yang lebih membahayakan adalah jika ada spot iklan berbunyi ”YANG LOKAL BEUM BOLEH BERJAYA”.

Tahukan anda bahwa Menteri Kesehatan RI Dr. Siti Fadhilah Supari tengah khawatir akan banyaknya mahasiswa kedokteran asing yang bersekolah di Indonesia, sedangkan perbandingan dengan mahasiswa kedokteran di Universitas – Universitas negeri kita adalah 30 – 70 untuk mahasiswa lokal?


Berapakah seorang finance manager asal eropa di gaji di Indonesia? Jawabannya, 5x lipat dari gaji standar finance manager lokal. Berapakah seorang guru bahasa inggris asal eropa (native) digaji per sesinya? Jawabannya adalah lima kali lipat standar guru bahasa inggris lokal. Meski secara kualitas, tenaga lokal tidak bisa diremehkan, sudah terlanjur tercipta sebuah citra kalau tenaga kerja barat memiliki kualitas lebih dari tenaga lokal.

Kualitas yang dimaksud tentu berupa kinerja. Uniknya, bahasa inggris yang biasanya menjadi kendala, tiba – tiba dilupakan. Lebih dari itu, image perusahaan akan segera naik dengan menghire pekerja berkulit bule. Sebenarnya, titik kemampuan itu tertuju pada satu bidang yaitu: kemampuan komunikasi yang baik dengan bahasa asing. Siapa yang menjamin bahwa para pekerja asing itu lebih baik dari pekerja lokal? Buktikan saja, seorang siswa bahasa inggris akan sangat tertarik mengikuti kelas, ketika pengajarnya adalah seorang ”native speaker”. Padahal, persoalan mengajar bukan pada masalah native atau tidak nativenya. Mengajar adalah interaksi pengajar dan siswa dalam sebuah kesepahaman. Apa iya, semua orang bule bisa memiliki kemampuan mengajar bahasa inggris yang bagus? Apa iya seorang indonesia ”pasti” mampu mengajarkan bahasa indonesia secara layak sesuai target? Tapi lihatlah, berapa perusahaan indonesia harus membayar gaji mereka?


Kita, saya, anda dan semua bisa membuat ini semua terjadi: pekerja lokal sama nilainya bahkan lebih tinggi dari pekerja asing. Bagaimana caranya? Apa yang bisa dikerjakan para pekerja expat, harus mampu kita kerjakan. Dealing dengan pangsa pasar luar, surat menyurat dengan bahasa inggris, diplomsi dan loby dalam bahasa inggris dan seterusnya. Jangan pernah menyerah kalah dengan kemalasan dan kemiskina jika kita ingin menang. Lihatlah bagaimana china secara fantastis membuat lompatan. Semua didapat dengan kerja keras.

Kaum muda dan kaum tua wacanakan ’perebutan’ kekuasaan. Masing-masing benar sendiri. Sumpah Pemuda menjadi kehilangan makna.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-80 yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 2008, dijadikan momentum oleh para politisi yang masih berusia muda untuk mencoba mengukuhkan eksistensi dalam jagat perpolitikan nasional. Kaum muda rata-rata memiliki sikap senada, mereka sudah saatnya memimpin bangsa. Bahkan satu dua orang di antara mereka berani mendeklarasikan diri sebagai calon presiden alternatif pada Pilpres 2009.

Keberanian demikian sangat membanggakan. Tetapi sayang tetap saja keinginan itu masih kurang bergema di kelompok kaum tua. Sebab menjadi pimpinan nasional di era modern tidak mudah. Dibutuhkan lebih dari keberanian.

Pemuda Indonesia tahun 1928 berani melakonkan gerakan memerdekakan Indonesia. Pemuda jaman sekarang lantas meniru tetapi hanya modal beraninya saja. Padahal ada hal lain yang juga turut menentukan, yakni popularitas. Dan untuk mendongkrak popular itu dibutuhkan uang besar.

Tidak ada komentar: