Salam Pembebasan Kawan..


Saatnya memulai dari hati yang bersih, menuju dunia tanpa dosa..menggapai surga
Mau??

Tragedi Bangkrutnya Metafisika; Meretas Jalan Semiotika
Judul tulisan di atas terkesan provokatif untuk membunuh metafisika dalam perspektif filsafat Barat. Butuh energi intelektual lumayan besar untuk memberi penjelasan filosofis yang telah dirintis oleh para filsuf terdahulu. Matinya filsafat mungkin adalah narasi yang diusung sebagai penjelasan logis perkembangan pemikiran manusia sejak era Yunani. Terjun ke dalam diskursus ini artinya berani membuka baju cakrawala dengan menggugat diri atau pemahaman anda, atau bahkan sebaliknya mengumpat apa dalam tulisan ini sebagai sesuatu yang menyesatkan secara normatif keagamaan.
Karakter kerumitan dan ambiguitas menyertai kerangka bangunan epistemik tematik ini, mengapa? Karena universalitas tradisi filsafat Barat tidak lepas satu sama lain. Pembaca minimal pernah melakukan pengembaraan di dunia filsafat atau pernah mengenal tentang diskursus yang diangkat dalam tulisan ini. Rantai filsafat Barat tidak saling melepaskan, seperti Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Scopenheauer, lalu Husserl pendiri fenomenologi sangat mempengaruhi Heidegger dan Derrida sebagai radikalisasi dari pemikiran Heidegger, sementara karya para strukturalis tampil dengan tingkat kerumitan yang tinggi semakin menambah rumitnya tema ini.
Tampilan diskursus dalam tulisan ini berpretensi untuk menelanjangi metafisika sebagai suatu genre yang mengandung oposisi-oposisi biner macam baik/buruk, sebab/akibat, bebas/mutlak, dan ribuan pasangan lainnya. Sebelumnya kerangka bangunan epistemiknya ditelaah sebagai rasionalisasi pembenaran teoritis.
A. Membongkar Metafisika;
Perspektif Pembacaan Dekonstruksi Derrida
Tidak mudah untuk melakukan pembongkaran terhadap metafisika sebagai kerangka epistemik yang telah menggurita. Untuk sampai pada pintu dekonstruksi Derrida, perspektif nihilisme Nietzsche dan hermeneutika-fenomenologis Heidegger tampil memberi jalan terang dibelantara metafisika. Mengapa dimulai dari Nietzsche? Sebab dialah orang pertama melakukan pembongkaran atau telah mempraktekkan dekonstruksi dan poststrukturaliame yang melampaui zamannya.
Gerbang 1 : Nihilisme Nietzsche; musuh metafisika
Gerbang pertama yang dimasuki adalah ide cemerlang nihilisme Nietzsche berupa aforisme “Nihilisme hadir di depan pintu: dari mana datangnya yang paling aneh dari semua pintu”. Secara sederhana, filsafat nihilisme bertujuan untuk memutuskan dan mengakhiri semua klaim terhadap kebenaran pemikiran metafisis tradisional, dalam suatu proses yang melompat hanya ketika ia mencapai titik dimana “kebenaran-kebenaran” prasangka tersebut seperti Tuhan dan jiwa diperlihatkan sebagai nilai yang tidak kurang subjektif dan tidak lebih dari “kekeliruan-kekeliruan” ketimbang keyakinan dan pendapat manusia lainnya
Gagasan nihilisme Nietzsche menelanjangi tradisi pemikiran-metafisika Barat yanag saling bergantung. Pemikiraan nihilistik berusaha meradikalkan kebenaran metafisis hanyalah ungkapan subjektif individu maupun kelompok sosial tertentu, bukan yang tak terbantah, hakikat dunia Tuhan, manusia dan alam yang tak berubah.
Yang ada menurut Nietzsche hanyalah kehendak untuk berkuasa setelah ia menihilkan dan merelatifkan segala sesuatu. Orisinalitas gagasan nihilisme Nietzsche berujung pada pembunuhan Tuhan. Manusia hanya didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa, (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak untuk berkuasa. Agama menghotbahkan sesuatu yang bertentangan dengan will to power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara dan lain-lain, tetapi, itu hanyalah penyamaran yang cerdik dari kehendak untuk berkuasa-bahkan dominasi-.akhirnya nihilisme menelanjangi segenap sistem nalar sebagai sistem-sistem persuasi, dan untuk memperlihatkan bahwa logika-landasan pemikiraan metafisika rasional- hanyalah sejenis retorika.
Gerbang 2 : Hermeneutika-Fenomenologi Heidegger; sebuah peran eksistensial dasein
Di titik lainnya Heidegger merumuskan gagasan fenomenologi yang dipinjam dari Husserl dengan sebaris slogan “kembali kepada kenyataan itu sendiri”. Heidegger bersikeras melepaskan diri dari tradisi filsafat Barat yang bercorak metafisik. Tradisi filsafat Barat lalai membedakan antara “Ada” (being) dengan “a” besar dan “adaan” (beings). “Ada” ditafsirkan sama dengan “adaan” namun “ada” sendiri bukan rumah, jalan atau pohon itu sendiri. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan” filsafat Barat yanag lupa akan “Ada” melukiskan “ada” sebagai benda-benda deskriptif, sedangkan “Ada” dengan “a” besar lebih agung dari itu. Maka, filsafat Barat mulai Plato hingga Nietzsche menurut Heidegger pada dasarnya memiliki satu pemahaman tentang “Ada”. ”Ada” dipahami sebagai prinsip universal yang menyangga hal ihwal. Apakah itu ide, subtitusi, atau kehendak untuk berkuasa (will to power). “Ada” dasein adalah “ada-dalam-dunia” yang harus dipahami sebagai suatu kesatuan. Maksudnya “ada” dasein dan dunia tidak dapat dipisahkan dan berbeda satu sama lain.
Manusia mengada dalam dunia (ruang dan waktu) atau dasein. Dasein tanpa disadari terus bergelut dengan dunia penafsiran sebagai prinsip dasar dari hermeneutika-fenomenologi. Hermeneutika yang melepaskan diri dari polarisasi subjek-objek. Subjek yang memahami objek. Subjek penafsir selalu sudah berada dalam dunia yang membuatnya terselubungi struktur presuposisi tertentu. Struktur yang menentukan kemungkinan makna-makna yang muncul pada objek penafsiran. Memahami objek bagi Heidegger, sama saja dengan melakukan suatu eksplitasi eksistensi dasein dari kekaburan-kekaburan sehari-harinya. Penasiran bersifat melingkar, bertolak dari teks. Penafsiran menyingkap struktur presuposisi dasein. Struktur presuposisi yang pada gilirannya diperkaya oleh perjumpaan dengan teks. Heidegger dilepaskan dari kerangka epistemologi untuk dikembalikan pada ontologi eksistensial.
Metode penafsiran ini berarti upaya untuk menyingkap struktur dan hakikat “Ada” melalui analisis eksistensial. Hermeneutika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia atas bentuk-bentuk ungkapan pemahaman itu. Mengikuti Heidegger dan Gadamer, bahasa adalah berada yang khas manusiawi di dunia ini. Maka objek utama hermeneutika akhirnya adalah segala bentuk permainan bahasa yang memungkinkan manusia memahami dunia dan dirinya sendiri.
Gerbang 3: Dekonstruksi Derrida; Cara baru praktek dekonstruktif
Semakin terang jalan masuk menuju metode dekonstruksi. Derrida digambarkan sebagai radikalisasi pemikiran Heidegger oleh K. Bertens dan oleh Levine dijuluki seorang Nietzschean kiri. Derrida mencoba menyelamatkan Nietzsche dari usaha Heidegger menjadikannya sebagai metafisikawan terakhir. Sebuah pembacaan yang memungkinkan Heidegger menggambarkan dirinya sebagai pemikir non-metafisikawan pertama sejak pra-sokratik. Menurut Derrida, bahwa gelar itu dimiliki Nietzsche. Nietzsche melalui pintu nihilisme dengan menciptakan doktrin destruktif diri, tetapi membebaskan dirinya dari kebenaran. Ini adalah sebuah langkah dekonstruktif, yang bisa dianalogikan dengan usaha Heidegger dan Derrida untuk menempatkan pengertian-pengertian metafisik karena pengikisan, melampauinya sebagaimana mereka menyingkapkannya. Derrida meniru nihilisme Nietzsche, tetapi seperti Heidegger, dia memasukkan cara-cara baru untuk melakukan praktik dekonstruktif.
Praktek dekonstruksi ini dirumuskan sebagai cara atau metode membaca teks. Yang dilacak adalah unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan, atau unsur yang menentukan sebuah teks itu filosofis, bukan argumen logis, argumen lemah ataupun premis-premis yang menyakinkan. Jadi kemungkinan berfilsafat itulah yang dipersoalkan disana. filsafat pertama-tama dilihat sebagai tulisan. Derrida menegaskan bahwa akar-akar tata bahasa dan tulisan adalah bersifat teologis-metafisik-Tuhan. Sebuah nama bagi suatu wujud yang diandaikan tulisan: sebuah petanda transendental yang karenanya logosentrisme dan metafisika kehadiran (menunjukkan sebuah) keinginan darurat, kuat dan sistematik. Penegasan Derrida bukan untuk menolak gagasan teologis-metafisik, mereka diperlukan, paling tidak sekarang, tidak ada yang bisa dipahami tanpa mereka. Jadi tanda(sign) dan ke-Tuhanan mempunyai tempat dan waktu kelahiran yang sama. Zaman tanda adalah pada hakikatnya bersifat teologis.
Metafisika kehadiran sebagai ciri khas pemikiran Barat menurut Derrida adalah pemikiran tentang “Ada” sebagai “kehadiran” dan oleh Derrida disebut juga sebagai “metafisika”. Dengan demikian seluruh tradisi metafisis condong ke arah “Ada” yang hadir bagi dirinya sendiri, Ada yang benar dalam dirinya, terlepas dari cerita di mana ada diketengahkan atau dikisahkan. Jadi, pandangan tentang kehadiran tampak jelas bila dipelajari ajaran metafisika tentang tanda. Dalam tradisi tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir. Derrida akhirnya sampai pada “Logosentrisme”, pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Bagaimanakah sebenarnya konsep Derrida tetang tanda? Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas). Maksudnya bahwa sebuah bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tatapi hanya sejauh menunjuk kepada yang lain. Bekas mendahului objek. Maka, kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asli, melainkan diturunkan dari bekas. Dengan demikian disangkal pula kemungkinan untuk mengerti Ada yang hadir bagi dirinya. Justru karena kehadiran timbul sebagai efek dari bekas. Gelas tidak menunjuk kepada diri sendiri sebagai hadir, tapi bagi Derrida gelas itupun adalah bekas yang menunjuk kepada air teh, dapur dan seterusnya. Jaringan atau rajutan tanda ini oleh Derrida disebut “teks” atau tenunan. Maka, teks tidak pernah terisolasi dan selalu berkaitan dengan teks yang lain.
Derrida dalam menciptakan pemikiran baru tentu memerlukan konsep-konsep baru pula. Dia menciptakan konsep-konsep baru yang tidak ditemukan dalam filsafat sebelumnya. Salah satu contohnya adalah pemikiran tentang bekas (trace). Konsep yang paling penting bagi Derrida adalah Differace, suatu pengertian yang amat sulit dijelaskan. Menurut Derrida teks-teks tidak pernah benar-benar tunggal, tetapi selalu mencakup sumber-sumber lain yang bertentangan dengan pernyataannya dan/atau maksud pengarangnya. Makna mencakup identitas (apa dia) dan perbedaan (apa yang bukan dia) dan oleh karena itu makna secara terus-menerus menjadi “tertunda”. Derrida menciptakan suatu kata untuk proses ini, menggabungkan difference (perbedaan) dan deferral (penundaan)-differance. Permainan perbedaan antara difference (bahasaInggris) dan difference (bahasaPrancis) menghasilkan differance (bahasadekonstruksi Derrida). Permainan perbedaan ini tidak dapat diketahui melalui ucapan/lisan, melainkan melalui teks/tulisan. Oleh karena itu bagi Derrida teks/tulisan lebih utama dari pada ucapan/lisan. Derrida menampilkan Differance sebagai “permainan negatif” dari perbedaan bahasa khusus yang didasarkan pada “permainan positif” perbedaan bahasa umum. Tampak bahwa differance bersifat pragmatis-empiris dan merupakan strateg pemaknaan, walau tanpa ujung. Differance juga bersifat genetis (turunan), mengatasi kerangka waktu, tidak bersifat masa kini dan masa lalu, dan tidak pula bersifat masa depan. Differance juga bermakna terbuka, tanpa akhir dan ujung, dan bebas dari pengertian biasa. Kalau begitu, prinsip Differance itu “serba bukan”: bukan makna biasa, bukan ruang dan waktu, bukan konsep dan kata, dan bukan pula kategori atau identitas.
Pembacaan dekonstruksif Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik teks. Yang ingin ditampilkan bukanlah upaya sadar pengorganisasian premis-premis, arguman, dan kesimpulan agar terjalin dengan rapi, tetapi tatanan teks yang disadari. Pembacaan dekonstruktif hendak menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks.
Strategi dekonstruksi Derrida terdiri dari langkah-langkah berikut, pertama mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik, kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan previlese secara terbalik, ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama. Dekonstruksi ingin menumbangkan hierarki konseptual yang menstrukturkan sebuah teks, juga ingin menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang telah membangun sebuah teks
B. Semiotika; sebuah bilik strukturalisme
Pembongkaran terhadap metafisika memberi ruang lebar semakin mekarnya strukturalisme apalagi sejak Derrida men”dekonstruksi” membongkar segala sesuatu yang berbau “ketepatan”. Sederhananya tanpa Derrida wajah strukturalisme takkan bisa seperti sekarang. Sebelum menginjak semiotika, gagasan Saussure sebagai dasar strukturalisme ditampilkan sebagai ciri dasar pemikiran ini.
1. Strukturalisme menuju Post-strukturalisme; membongkar struktur
Para strukturalis tidak dapat lepas dari pemikiran Saussure tentang linguistik atau tanda-tanda lingustik. Titik fokus utama penelitian strukturalisme secara umum adalah pencarian struktur permanen yang aktif dipandang mendasari realitas. Pencarian struktur permanen ini baik dalam realitas imajiner sastra ataupun realitas dunia kongret ilmu-ilmu sosial. Kaum strukturalis mendasarkan pencariannya atas suatu kepercayaan tertentu pada bahasa. Kepercayaan strukturalisme itu bila disederhanakan adalah: bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial.
Strukturalisme mengambil dua ide dasar Saussure. Pertama, perhatian pada hubungan yang mendukung teks dan praktek budaya-“tata bahasa” yang memungkinkan makna. Kedua, pandangan bahwa makna selalu merupakan hasil dari hubungan seleksi dan kombinasi yang dimungkinkan terjadi di dalam struktur yang mendukungnya. Dengan kata lain, teks dan praktek budaya bisa dipelajari secara analog dengan bahasa20.
Strukturalisme percaya bahwa sebagai kekuatan ia tidak sebagai kekuatan yang tidak tergantung pada berbagai pengaruh yang berasal dari luar dirinya, tetapi cukup ditentukan hanya oleh aturan-aturan internal yang ada dalam dirinya. Atau dengan kata lain strukturalisme percaya kekuatan ini cukup ditentukan oleh aturan-aturan dalam sistem bahasa itu sendiri.
Strukturalisme mendapat terpaan kritik dan melahirkan gerakan pemikiran neo-strukturalisme atau post-strukturalisme. Kritik Derrida pada strukturalisme sebagai pemikir post-strukturalisme adalah, pertama, ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi subjek dan objek, yang menjadi dasar kemungkinan deskripsi yang objektif. Deskripsi objek tak dapat dilepaskan dari subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur oposisi biner.
Beberapa tokoh post-strukturalisme seperti, Michel Foucault, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Roland Barthes. Mereka semua memilki filsafat khas yang bertentangan sengan konsep struktur, juga secara cukup radikal anti-keilmuan. Mereka menolak asumsi implisit model linguistik Saussurean yang merupakan landasan strukturalisme.
2. Semiotika; metode interpretasi tanda (sign)
Manusia sehari-hari dikelilingi oleh tanda-tanda, apakah itu natural atau artifisial. Hakikat peran yang dibawakan oleh tanda-tanda pada prinsipnya ditentukan oleh kebudayaan. Studi tentang tanda-tanda pada umumnya, serta studi tentang bekerjanya sejumlah besar kode-kode dalam suatu kebudayaan, yang memungkinkan kita mampu menginterpretasikan tanda-tanda tersebut secara memuaskan sekarang diberi nama “Semiologi” (di Prancis dan negara Eropa lainnya) atau “Semiotika” (Amerika Selatan). Dua tokoh utama semiotika modern, yaitu Ferdinand de Saussure dari Prancis dan Charles Sanders Pierce, ahli filsafat dari Amerika. Keduanya hidup sejaman, hidup di belahan bumi yang berbeda, tidak saling kenal, dan mendasarkan teori semiotiknya pada landasan yang berbeda.
Sebuah kata dalam suatu bahasa adalah sebuah tanda, dan bahwa bahasa berfungsi sebagai sistem tanda-tanda. Saussure menganalisis tanda dalam dua bagian : bagian suara sebagai “penanda” (signifier), dan bagian mental atau konseptual sebagai “yang ditandakan” (signified). Tanda yang lazim menunjuk benda-benda sendiri yang ditunjuk oleh tanda-tanda bahasa tidak mendapat perhatian, “yang ditandakan” bukanlah benda melainkan pengertian tentang benda yang terdapat dalam pikiran pembaca atau pendengar, ketika mengucapkan atau mendengarkan penanda tertentu.
Menurut Saussure signifier dan signified merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Verbalitas tanda tak akan mempunyai arti apa-apa tanpa segi mental tersebut, sedangkan segi mental mustahil bisa tertangkap oleh indera seseorang apabila lepas dari aspek verbal bahasa. Kesatuan keduanya diibaratkan Saussure menyerupai dua sisi sebuah mata uang. Sementara menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan refresentasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik yang termasuk tanda adalah kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture dan juga objek. Menurut Peirce, hubungan tanda dengan acuannya memiliki tiga bentuk, pertama adalah icon, di mana hubungan antara tanda dengan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, misalya potret, peta geografis dan patung. Kedua, index, dimana hubungan tanda dan acuannya muncul karena adanya kedekatan eksistensi, yang sifatnya kausal, misalnya halilintar menandakan adanya petir. Ketiga, symbol, yaitu hubungan yang terbentuk secara konvensional, misalnya makna warna bendera. Kredibilitas semiotika semakin melambung di tangan Roland Barthes, Julia Kristeva, Jean Baudrillard dll.
Kristeva menggabungkan analisis Freudian dan semiologi struktural Lacan dalam praktik penandaan. Konsepsinya tentang fungsi-fungsi semiotik dan simbolik yang bekerja dalam kehidupan fisik, tekstual, dan sosial didasarkan pada perbedaan dorongan seksual pra Oedipal dan Oedipal yang dikembangkan Freud.
Ditangan Barthes semiotika tidak hanya berhenti pada bahasa seperti cita-cita Saussure. Barthes condong mempraktekkan semiotika sebagai filsafat. Secara lebih plastis dan kreatif Barthes dengan semiotika mampu menganalisis trend kehidupan sehari-hari masyarakat Prancis seperti film, selera istimewa seperti steak dan anggur, permainan anak-anak, iklan, sampai kehidupan klab malam Paris.
Saussure menganalogikan petanda dan penanda sebagai dua sisi mata uang tak terpisahkan atau suatu kesatuan, dan memandang hubungan petanda dengan penanda bersifat arbitrer atau sewenang-wenang. Posisi petanda dan penanda yang arbitrer adalah sebuah posisi nihilistik dalam interpretasi tanda (sign), sehingga makna tidak pernah satu dan tanpa akhir. Posisi metafisika tergugat sebagai konsep struktur permanen yang sarat dengan oposisi biner. “Yang ada hanyalah permainan tanda, makna tanpa akhir”.