Salam Pembebasan Kawan..


Saatnya memulai dari hati yang bersih, menuju dunia tanpa dosa..menggapai surga
Mau??

Tragedi Bangkrutnya Metafisika; Meretas Jalan Semiotika
Judul tulisan di atas terkesan provokatif untuk membunuh metafisika dalam perspektif filsafat Barat. Butuh energi intelektual lumayan besar untuk memberi penjelasan filosofis yang telah dirintis oleh para filsuf terdahulu. Matinya filsafat mungkin adalah narasi yang diusung sebagai penjelasan logis perkembangan pemikiran manusia sejak era Yunani. Terjun ke dalam diskursus ini artinya berani membuka baju cakrawala dengan menggugat diri atau pemahaman anda, atau bahkan sebaliknya mengumpat apa dalam tulisan ini sebagai sesuatu yang menyesatkan secara normatif keagamaan.
Karakter kerumitan dan ambiguitas menyertai kerangka bangunan epistemik tematik ini, mengapa? Karena universalitas tradisi filsafat Barat tidak lepas satu sama lain. Pembaca minimal pernah melakukan pengembaraan di dunia filsafat atau pernah mengenal tentang diskursus yang diangkat dalam tulisan ini. Rantai filsafat Barat tidak saling melepaskan, seperti Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Scopenheauer, lalu Husserl pendiri fenomenologi sangat mempengaruhi Heidegger dan Derrida sebagai radikalisasi dari pemikiran Heidegger, sementara karya para strukturalis tampil dengan tingkat kerumitan yang tinggi semakin menambah rumitnya tema ini.
Tampilan diskursus dalam tulisan ini berpretensi untuk menelanjangi metafisika sebagai suatu genre yang mengandung oposisi-oposisi biner macam baik/buruk, sebab/akibat, bebas/mutlak, dan ribuan pasangan lainnya. Sebelumnya kerangka bangunan epistemiknya ditelaah sebagai rasionalisasi pembenaran teoritis.
A. Membongkar Metafisika;
Perspektif Pembacaan Dekonstruksi Derrida
Tidak mudah untuk melakukan pembongkaran terhadap metafisika sebagai kerangka epistemik yang telah menggurita. Untuk sampai pada pintu dekonstruksi Derrida, perspektif nihilisme Nietzsche dan hermeneutika-fenomenologis Heidegger tampil memberi jalan terang dibelantara metafisika. Mengapa dimulai dari Nietzsche? Sebab dialah orang pertama melakukan pembongkaran atau telah mempraktekkan dekonstruksi dan poststrukturaliame yang melampaui zamannya.
Gerbang 1 : Nihilisme Nietzsche; musuh metafisika
Gerbang pertama yang dimasuki adalah ide cemerlang nihilisme Nietzsche berupa aforisme “Nihilisme hadir di depan pintu: dari mana datangnya yang paling aneh dari semua pintu”. Secara sederhana, filsafat nihilisme bertujuan untuk memutuskan dan mengakhiri semua klaim terhadap kebenaran pemikiran metafisis tradisional, dalam suatu proses yang melompat hanya ketika ia mencapai titik dimana “kebenaran-kebenaran” prasangka tersebut seperti Tuhan dan jiwa diperlihatkan sebagai nilai yang tidak kurang subjektif dan tidak lebih dari “kekeliruan-kekeliruan” ketimbang keyakinan dan pendapat manusia lainnya
Gagasan nihilisme Nietzsche menelanjangi tradisi pemikiran-metafisika Barat yanag saling bergantung. Pemikiraan nihilistik berusaha meradikalkan kebenaran metafisis hanyalah ungkapan subjektif individu maupun kelompok sosial tertentu, bukan yang tak terbantah, hakikat dunia Tuhan, manusia dan alam yang tak berubah.
Yang ada menurut Nietzsche hanyalah kehendak untuk berkuasa setelah ia menihilkan dan merelatifkan segala sesuatu. Orisinalitas gagasan nihilisme Nietzsche berujung pada pembunuhan Tuhan. Manusia hanya didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa, (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak untuk berkuasa. Agama menghotbahkan sesuatu yang bertentangan dengan will to power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara dan lain-lain, tetapi, itu hanyalah penyamaran yang cerdik dari kehendak untuk berkuasa-bahkan dominasi-.akhirnya nihilisme menelanjangi segenap sistem nalar sebagai sistem-sistem persuasi, dan untuk memperlihatkan bahwa logika-landasan pemikiraan metafisika rasional- hanyalah sejenis retorika.
Gerbang 2 : Hermeneutika-Fenomenologi Heidegger; sebuah peran eksistensial dasein
Di titik lainnya Heidegger merumuskan gagasan fenomenologi yang dipinjam dari Husserl dengan sebaris slogan “kembali kepada kenyataan itu sendiri”. Heidegger bersikeras melepaskan diri dari tradisi filsafat Barat yang bercorak metafisik. Tradisi filsafat Barat lalai membedakan antara “Ada” (being) dengan “a” besar dan “adaan” (beings). “Ada” ditafsirkan sama dengan “adaan” namun “ada” sendiri bukan rumah, jalan atau pohon itu sendiri. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan” filsafat Barat yanag lupa akan “Ada” melukiskan “ada” sebagai benda-benda deskriptif, sedangkan “Ada” dengan “a” besar lebih agung dari itu. Maka, filsafat Barat mulai Plato hingga Nietzsche menurut Heidegger pada dasarnya memiliki satu pemahaman tentang “Ada”. ”Ada” dipahami sebagai prinsip universal yang menyangga hal ihwal. Apakah itu ide, subtitusi, atau kehendak untuk berkuasa (will to power). “Ada” dasein adalah “ada-dalam-dunia” yang harus dipahami sebagai suatu kesatuan. Maksudnya “ada” dasein dan dunia tidak dapat dipisahkan dan berbeda satu sama lain.
Manusia mengada dalam dunia (ruang dan waktu) atau dasein. Dasein tanpa disadari terus bergelut dengan dunia penafsiran sebagai prinsip dasar dari hermeneutika-fenomenologi. Hermeneutika yang melepaskan diri dari polarisasi subjek-objek. Subjek yang memahami objek. Subjek penafsir selalu sudah berada dalam dunia yang membuatnya terselubungi struktur presuposisi tertentu. Struktur yang menentukan kemungkinan makna-makna yang muncul pada objek penafsiran. Memahami objek bagi Heidegger, sama saja dengan melakukan suatu eksplitasi eksistensi dasein dari kekaburan-kekaburan sehari-harinya. Penasiran bersifat melingkar, bertolak dari teks. Penafsiran menyingkap struktur presuposisi dasein. Struktur presuposisi yang pada gilirannya diperkaya oleh perjumpaan dengan teks. Heidegger dilepaskan dari kerangka epistemologi untuk dikembalikan pada ontologi eksistensial.
Metode penafsiran ini berarti upaya untuk menyingkap struktur dan hakikat “Ada” melalui analisis eksistensial. Hermeneutika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia atas bentuk-bentuk ungkapan pemahaman itu. Mengikuti Heidegger dan Gadamer, bahasa adalah berada yang khas manusiawi di dunia ini. Maka objek utama hermeneutika akhirnya adalah segala bentuk permainan bahasa yang memungkinkan manusia memahami dunia dan dirinya sendiri.
Gerbang 3: Dekonstruksi Derrida; Cara baru praktek dekonstruktif
Semakin terang jalan masuk menuju metode dekonstruksi. Derrida digambarkan sebagai radikalisasi pemikiran Heidegger oleh K. Bertens dan oleh Levine dijuluki seorang Nietzschean kiri. Derrida mencoba menyelamatkan Nietzsche dari usaha Heidegger menjadikannya sebagai metafisikawan terakhir. Sebuah pembacaan yang memungkinkan Heidegger menggambarkan dirinya sebagai pemikir non-metafisikawan pertama sejak pra-sokratik. Menurut Derrida, bahwa gelar itu dimiliki Nietzsche. Nietzsche melalui pintu nihilisme dengan menciptakan doktrin destruktif diri, tetapi membebaskan dirinya dari kebenaran. Ini adalah sebuah langkah dekonstruktif, yang bisa dianalogikan dengan usaha Heidegger dan Derrida untuk menempatkan pengertian-pengertian metafisik karena pengikisan, melampauinya sebagaimana mereka menyingkapkannya. Derrida meniru nihilisme Nietzsche, tetapi seperti Heidegger, dia memasukkan cara-cara baru untuk melakukan praktik dekonstruktif.
Praktek dekonstruksi ini dirumuskan sebagai cara atau metode membaca teks. Yang dilacak adalah unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan, atau unsur yang menentukan sebuah teks itu filosofis, bukan argumen logis, argumen lemah ataupun premis-premis yang menyakinkan. Jadi kemungkinan berfilsafat itulah yang dipersoalkan disana. filsafat pertama-tama dilihat sebagai tulisan. Derrida menegaskan bahwa akar-akar tata bahasa dan tulisan adalah bersifat teologis-metafisik-Tuhan. Sebuah nama bagi suatu wujud yang diandaikan tulisan: sebuah petanda transendental yang karenanya logosentrisme dan metafisika kehadiran (menunjukkan sebuah) keinginan darurat, kuat dan sistematik. Penegasan Derrida bukan untuk menolak gagasan teologis-metafisik, mereka diperlukan, paling tidak sekarang, tidak ada yang bisa dipahami tanpa mereka. Jadi tanda(sign) dan ke-Tuhanan mempunyai tempat dan waktu kelahiran yang sama. Zaman tanda adalah pada hakikatnya bersifat teologis.
Metafisika kehadiran sebagai ciri khas pemikiran Barat menurut Derrida adalah pemikiran tentang “Ada” sebagai “kehadiran” dan oleh Derrida disebut juga sebagai “metafisika”. Dengan demikian seluruh tradisi metafisis condong ke arah “Ada” yang hadir bagi dirinya sendiri, Ada yang benar dalam dirinya, terlepas dari cerita di mana ada diketengahkan atau dikisahkan. Jadi, pandangan tentang kehadiran tampak jelas bila dipelajari ajaran metafisika tentang tanda. Dalam tradisi tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir. Derrida akhirnya sampai pada “Logosentrisme”, pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Bagaimanakah sebenarnya konsep Derrida tetang tanda? Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas). Maksudnya bahwa sebuah bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tatapi hanya sejauh menunjuk kepada yang lain. Bekas mendahului objek. Maka, kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asli, melainkan diturunkan dari bekas. Dengan demikian disangkal pula kemungkinan untuk mengerti Ada yang hadir bagi dirinya. Justru karena kehadiran timbul sebagai efek dari bekas. Gelas tidak menunjuk kepada diri sendiri sebagai hadir, tapi bagi Derrida gelas itupun adalah bekas yang menunjuk kepada air teh, dapur dan seterusnya. Jaringan atau rajutan tanda ini oleh Derrida disebut “teks” atau tenunan. Maka, teks tidak pernah terisolasi dan selalu berkaitan dengan teks yang lain.
Derrida dalam menciptakan pemikiran baru tentu memerlukan konsep-konsep baru pula. Dia menciptakan konsep-konsep baru yang tidak ditemukan dalam filsafat sebelumnya. Salah satu contohnya adalah pemikiran tentang bekas (trace). Konsep yang paling penting bagi Derrida adalah Differace, suatu pengertian yang amat sulit dijelaskan. Menurut Derrida teks-teks tidak pernah benar-benar tunggal, tetapi selalu mencakup sumber-sumber lain yang bertentangan dengan pernyataannya dan/atau maksud pengarangnya. Makna mencakup identitas (apa dia) dan perbedaan (apa yang bukan dia) dan oleh karena itu makna secara terus-menerus menjadi “tertunda”. Derrida menciptakan suatu kata untuk proses ini, menggabungkan difference (perbedaan) dan deferral (penundaan)-differance. Permainan perbedaan antara difference (bahasaInggris) dan difference (bahasaPrancis) menghasilkan differance (bahasadekonstruksi Derrida). Permainan perbedaan ini tidak dapat diketahui melalui ucapan/lisan, melainkan melalui teks/tulisan. Oleh karena itu bagi Derrida teks/tulisan lebih utama dari pada ucapan/lisan. Derrida menampilkan Differance sebagai “permainan negatif” dari perbedaan bahasa khusus yang didasarkan pada “permainan positif” perbedaan bahasa umum. Tampak bahwa differance bersifat pragmatis-empiris dan merupakan strateg pemaknaan, walau tanpa ujung. Differance juga bersifat genetis (turunan), mengatasi kerangka waktu, tidak bersifat masa kini dan masa lalu, dan tidak pula bersifat masa depan. Differance juga bermakna terbuka, tanpa akhir dan ujung, dan bebas dari pengertian biasa. Kalau begitu, prinsip Differance itu “serba bukan”: bukan makna biasa, bukan ruang dan waktu, bukan konsep dan kata, dan bukan pula kategori atau identitas.
Pembacaan dekonstruksif Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik teks. Yang ingin ditampilkan bukanlah upaya sadar pengorganisasian premis-premis, arguman, dan kesimpulan agar terjalin dengan rapi, tetapi tatanan teks yang disadari. Pembacaan dekonstruktif hendak menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks.
Strategi dekonstruksi Derrida terdiri dari langkah-langkah berikut, pertama mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik, kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan previlese secara terbalik, ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama. Dekonstruksi ingin menumbangkan hierarki konseptual yang menstrukturkan sebuah teks, juga ingin menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang telah membangun sebuah teks
B. Semiotika; sebuah bilik strukturalisme
Pembongkaran terhadap metafisika memberi ruang lebar semakin mekarnya strukturalisme apalagi sejak Derrida men”dekonstruksi” membongkar segala sesuatu yang berbau “ketepatan”. Sederhananya tanpa Derrida wajah strukturalisme takkan bisa seperti sekarang. Sebelum menginjak semiotika, gagasan Saussure sebagai dasar strukturalisme ditampilkan sebagai ciri dasar pemikiran ini.
1. Strukturalisme menuju Post-strukturalisme; membongkar struktur
Para strukturalis tidak dapat lepas dari pemikiran Saussure tentang linguistik atau tanda-tanda lingustik. Titik fokus utama penelitian strukturalisme secara umum adalah pencarian struktur permanen yang aktif dipandang mendasari realitas. Pencarian struktur permanen ini baik dalam realitas imajiner sastra ataupun realitas dunia kongret ilmu-ilmu sosial. Kaum strukturalis mendasarkan pencariannya atas suatu kepercayaan tertentu pada bahasa. Kepercayaan strukturalisme itu bila disederhanakan adalah: bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial.
Strukturalisme mengambil dua ide dasar Saussure. Pertama, perhatian pada hubungan yang mendukung teks dan praktek budaya-“tata bahasa” yang memungkinkan makna. Kedua, pandangan bahwa makna selalu merupakan hasil dari hubungan seleksi dan kombinasi yang dimungkinkan terjadi di dalam struktur yang mendukungnya. Dengan kata lain, teks dan praktek budaya bisa dipelajari secara analog dengan bahasa20.
Strukturalisme percaya bahwa sebagai kekuatan ia tidak sebagai kekuatan yang tidak tergantung pada berbagai pengaruh yang berasal dari luar dirinya, tetapi cukup ditentukan hanya oleh aturan-aturan internal yang ada dalam dirinya. Atau dengan kata lain strukturalisme percaya kekuatan ini cukup ditentukan oleh aturan-aturan dalam sistem bahasa itu sendiri.
Strukturalisme mendapat terpaan kritik dan melahirkan gerakan pemikiran neo-strukturalisme atau post-strukturalisme. Kritik Derrida pada strukturalisme sebagai pemikir post-strukturalisme adalah, pertama, ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi subjek dan objek, yang menjadi dasar kemungkinan deskripsi yang objektif. Deskripsi objek tak dapat dilepaskan dari subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur oposisi biner.
Beberapa tokoh post-strukturalisme seperti, Michel Foucault, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Roland Barthes. Mereka semua memilki filsafat khas yang bertentangan sengan konsep struktur, juga secara cukup radikal anti-keilmuan. Mereka menolak asumsi implisit model linguistik Saussurean yang merupakan landasan strukturalisme.
2. Semiotika; metode interpretasi tanda (sign)
Manusia sehari-hari dikelilingi oleh tanda-tanda, apakah itu natural atau artifisial. Hakikat peran yang dibawakan oleh tanda-tanda pada prinsipnya ditentukan oleh kebudayaan. Studi tentang tanda-tanda pada umumnya, serta studi tentang bekerjanya sejumlah besar kode-kode dalam suatu kebudayaan, yang memungkinkan kita mampu menginterpretasikan tanda-tanda tersebut secara memuaskan sekarang diberi nama “Semiologi” (di Prancis dan negara Eropa lainnya) atau “Semiotika” (Amerika Selatan). Dua tokoh utama semiotika modern, yaitu Ferdinand de Saussure dari Prancis dan Charles Sanders Pierce, ahli filsafat dari Amerika. Keduanya hidup sejaman, hidup di belahan bumi yang berbeda, tidak saling kenal, dan mendasarkan teori semiotiknya pada landasan yang berbeda.
Sebuah kata dalam suatu bahasa adalah sebuah tanda, dan bahwa bahasa berfungsi sebagai sistem tanda-tanda. Saussure menganalisis tanda dalam dua bagian : bagian suara sebagai “penanda” (signifier), dan bagian mental atau konseptual sebagai “yang ditandakan” (signified). Tanda yang lazim menunjuk benda-benda sendiri yang ditunjuk oleh tanda-tanda bahasa tidak mendapat perhatian, “yang ditandakan” bukanlah benda melainkan pengertian tentang benda yang terdapat dalam pikiran pembaca atau pendengar, ketika mengucapkan atau mendengarkan penanda tertentu.
Menurut Saussure signifier dan signified merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Verbalitas tanda tak akan mempunyai arti apa-apa tanpa segi mental tersebut, sedangkan segi mental mustahil bisa tertangkap oleh indera seseorang apabila lepas dari aspek verbal bahasa. Kesatuan keduanya diibaratkan Saussure menyerupai dua sisi sebuah mata uang. Sementara menurut Peirce, sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan refresentasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik yang termasuk tanda adalah kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture dan juga objek. Menurut Peirce, hubungan tanda dengan acuannya memiliki tiga bentuk, pertama adalah icon, di mana hubungan antara tanda dengan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, misalya potret, peta geografis dan patung. Kedua, index, dimana hubungan tanda dan acuannya muncul karena adanya kedekatan eksistensi, yang sifatnya kausal, misalnya halilintar menandakan adanya petir. Ketiga, symbol, yaitu hubungan yang terbentuk secara konvensional, misalnya makna warna bendera. Kredibilitas semiotika semakin melambung di tangan Roland Barthes, Julia Kristeva, Jean Baudrillard dll.
Kristeva menggabungkan analisis Freudian dan semiologi struktural Lacan dalam praktik penandaan. Konsepsinya tentang fungsi-fungsi semiotik dan simbolik yang bekerja dalam kehidupan fisik, tekstual, dan sosial didasarkan pada perbedaan dorongan seksual pra Oedipal dan Oedipal yang dikembangkan Freud.
Ditangan Barthes semiotika tidak hanya berhenti pada bahasa seperti cita-cita Saussure. Barthes condong mempraktekkan semiotika sebagai filsafat. Secara lebih plastis dan kreatif Barthes dengan semiotika mampu menganalisis trend kehidupan sehari-hari masyarakat Prancis seperti film, selera istimewa seperti steak dan anggur, permainan anak-anak, iklan, sampai kehidupan klab malam Paris.
Saussure menganalogikan petanda dan penanda sebagai dua sisi mata uang tak terpisahkan atau suatu kesatuan, dan memandang hubungan petanda dengan penanda bersifat arbitrer atau sewenang-wenang. Posisi petanda dan penanda yang arbitrer adalah sebuah posisi nihilistik dalam interpretasi tanda (sign), sehingga makna tidak pernah satu dan tanpa akhir. Posisi metafisika tergugat sebagai konsep struktur permanen yang sarat dengan oposisi biner. “Yang ada hanyalah permainan tanda, makna tanpa akhir”.

SEKILAS TENTANG LOMBOK.


Lombok (penduduk pada tahun 1990: 2.403.025) adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih bulat bentuknya dengan semacam “ekor” di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Pulau ini luasnya adalah 4.725 km² (sedikit lebih kecil daripada Bali). Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram
Bahasa Sasak dipakai oleh masyarakat Pulau Lombok, propinsi Nusa Tenggara Barat. Bahasa ini mempunyai gradasi sebagaimana Bahasa Bali dan Bahasa Jawa. Bahasa Sasak mirip dan serumpun dengan Bahasa Bali.
Bahasa Sasak mempunyai dialek-dialek yang berbeda menurut wilayah, bahkan dialek di kawasan Lombok Timur kerap sukar dipahami oleh para penutur Sasak lainnya.

SEJARAH
Orang Belanda pertama singgah di Lombok pada tahun 1674 dan menduduki bagian timur pulau ini dan meninggalkan bagian barat yang kemudian diduduki orang Bali. Orang Sasak merasa dianaktirikan oleh orang Bali dan akhirnya Belanda ‘berintervensi’. Mereka menggempur Cakranegara, tempat puri Bali berada pada tahun 1894 dan memasukkan pulau ini dalam pemerintahan Hindia-Belanda

PEMBAGIAN ADMINISTRATIF
Lombok termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan pulau ini sendiri dibagi menjadi empat Daerah Tingkat II:
1. Kota Mataram
2. Kabupaten Lombok Barat
3. Kabupaten Lombok Tengah
4. Kabupaten Lombok Timur

GEOGRAFI, TOPOGRAFI dan DEMOGRAFI
Selat Lombok adalah batas flora dan fauna Asia. Mulai dari Lombok ke arah timur, flora dan fauna menunjukkan ciri-ciri khas Australia. Ilmuwan yang pertama kali menyatakan hal ini adalah Alfred Russel Wallace, seorang Inggris di abad ke-19. Untuk menghormatinya maka batas ini disebut Garis Wallace.
Topografi pulau ini didominasi oleh gunung berapi Rinjani yang ketinggiannya adalah 3.726 meter di atas permukaan laut dan membuatnya yang ketiga tertinggi di Indonesia. Daerah selatan pulau ini adalah sebuah ladang terbuka bebas yang subur dan ditanami dengan jagung, padi, kopi, tembakau dan kapas.
Sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi sebagian besar memeluk agama Islam. Sisa penduduk adalah orang Bali, Jawa, Tionghoa dan Arab.

PARIWISATA
Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya krismon dan krisis-krisis lainnya, potensi pariwisata agak terlantarkan. Lalu pada awal tahun 2000 terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka terutama mengungsi ke pulau Bali.

Tempat-tempat pariwisata:
1. Pantai Senggigi
2. Cakranegara
3. Gili Air
4. Gili Meno
5. Gili Trawangan
6. Gunung Rinjani
7. Pantai Kuta, Lombok
8. Sentanu
9. Tetebatu

Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726 m dpl, mendomonasi sebagian besar luas pulau Lombok. Terletak disebelah timur pulau Bali, dapat ditempuh dengan bus langsung Jakarta-Mataram dengan menyeberang menggunakan feri dua kali (selat bali dan selat lombok). Dapat juga ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang dari Bali.

Gunung Rinjani adalah gunung yang berlokasi di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung yang merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.726 m dpl serta terletak pada lintang 8º25? LS dan 116º28? BT ini merupakan gunung favorit bagi pendaki Indonesia karena keindahan pemandangannya. Gunung ini merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang memiliki luas sekitar 41.330 ha dan ini akan diusulkan penambahannya sehingga menjadi 76.000 ha ke arah barat dan timur.

Secara administratif gunung ini berada dibawah tiga kabupaten yaitu: Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Di sebelah barat kerucut Rinjani terdapat kaldera dengan luas sekitar 3.500 m x 4.800 m, memanjang kearah timur anda barat. Di kaldera ini terdapat danau Segara Anakan seluas 11.000.000 m persegi dengan kedalaman 230 m. Air yang mengalir dari danau ini membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Danau Segara Anak ini banyak terdapat ikan mas dan mujair, sehingga sering digunakan untuk memancing. Dengan warna airnya yang membiru, danau ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebut “Segara Anak”. Bagian selatan danau ini disebut dengan Segara Endut, dan disebelah timurnya terdapat gunung Baru yang oleh bahasa setempat disebut dengan Gunung Baru Jari. yang memiliki kawah seluas 170 x 200 m dengan ketinggian 2.296 - 2376 m dpl. Pada tahun 1994 gunung Baru Jari ini meletus dan memuntahkan isi perutnya di sekitar danau Segara Anakan.

PENDAKIAN
Rinjani memiliki panaroma yang bisa dibilang paling bagus di antara gunung-gunung di Indonesia. Setiap tahunnya (Juni-Agustus) banyak dikunjungi pencinta alam mulai dari Penduduk lokal, mahasiswa, pecinta alam. Suhu udara rata-rata sekitar 20°C; terendah 12°C. Angin kencang di puncak biasa terjadi di bulan Agustus. Beruntung akhir Juli ini, angin masih cukup lemah dan cuaca cukup cerah, sehingga summit attack bisa dilakukan kapan saja.

Selain puncak, tempat yg sering dikunjungi adalah Segara Anakan, sebuah danau kawah di ketinggian 2.000 mdpl. Untuk mencapai lokasi ini kita bisa mendaki dari desa Senaru atau desa Sembalun Lawang (dua entry point terdekat di ketinggian 500 mdpl dan 1.200 mdpl). Kebanyakan pendaki menyukai start entry dari arah Sembalun, karena bisa menghemat 700m ketinggian. Rute Sembalun agak panjang tetapi datar, dan cuaca lebih panas krn melalui padang savana yang terik (suhu dingin tetapi radiasi matahari langsung membakar kulit). Sunblok krem sangat dianjurkan.

Sedangkan dari arah Senaru tanjakan tanpa jeda, tetapi cuaca lembut krn melalui hutan. Dari kedua lokasi ini membutuhkan waktu jalan kaki sekitar 9 jam menuju bibir punggungan di ketinggian 2,700 mdpl (tiba di Plawangan Senaru ataupun Plawangan Sembalun). Di tempat ini pemandangan ke arah danau, maupun kearah luar sangat bagus. Dari Plawangan Senaru (jika naik dari arah Senaru) turun ke danau melalui dinding curam ke ketinggian 2,000 mdpl) yg bisa ditempuh dalam 2 jam. Di danau kita bisa berkemah, mancing (Carper, Mujair) yang banyak sekali. Penduduk Lombok mempunyai tradisi berkunjung ke segara anakan utk berendam di kolam air panas dan mancing.

Untuk mencapai puncak (dari arah Danau) harus berjalan kaki mendaki dinding sebelah barat setinggi 700m dan menaiki punggungan setinggi 1.000m yang ditempuh dlm 2 tahap 3 jam dan 4 jam. Tahap pertama menuju Plawangan Sembalun, camp terakhir utk menunggu pagi hari. Summit attack biasa dilakukan pada jam 3 dinihari utk mencari momen indah - matahari terbit di puncak Rinjani. Perjalanan menuju Puncak tergolong lumayan; krn meniti di bibir kawah dgn margin safety yang pas-pasan. Medan pasir, batu, tanah. 200 meter ketinggian terakhir harus ditempuh dgn susah payah, karena satu langkah maju diikuti setengah langkah turun (terperosok batuan kerikil). Buat highlander - ini tempat yang paling menantang dan disukai karena beratnya medan terbayar dgn pemandangan alamnya yg indah. Gunung Agung di Bali, Gunung Ijen-Merapi di Banyuwangi dan Gunung Tambora di Sumbawa terlihat jelas saat cuaca bagus di pagi hari. Untuk mendaki Rinjani tidak diperlukan alat bantu, cukup stamina, kesabaran dan “passion”.

Keseluruhan perjalanan dapat dicapai dalam program tiga hari dua malam, atau kalau mau lihat dua objek lain: gua Susu dan gunung Baru Jaro (kawah baru ditengah danau) perlu tambahan waktu dua hari perjalanan. Persiapan logistik sangat diperlukan. tetapi untungnya segala sesuatu bisa diperoleh di desa terdekat. Tenda, sleeping bag, peralatan makan, bahan makanan dan apa saja yg diperlukan (termasuk radio komunikasi) bisa disewa dari homestay-homestay yg menjamur di desa Senaru.

SEKILAS TENTANG SASAK.
Komunitas Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat merupakan Suku terbesar di Propinsi yang berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur ini. Menurut catatan sensus yang diadakan tahun 1989, populasi suku sasak mencapai 2,1 juta jiwa. Pada Sensus berikutnya, tepatnya tahun 2000 populasinya bertambah menjadi 2,6 juta jiwa. Tahun ini diperkirakan populasi Suku Sasak yang tinggal di Lombok sekitar 3 juta jiwa, jumlah itu belum termasuk “sasak diaspora” alias sasak rantau yang menetap di Pulau Sumbawa bagian Barat, di Kalimantan Timur (akibat proyek transmigrasi), di Malaysia (TKI) dan di beberapa Kota besar di Indonesia (yang umumnya karena faktor pekerjaan dan status sebagai Mahasiswa). Di Samping itu dalam jumlah kecil, Suku Sasak tersebar di beberapa Negara di dunia ini. Melihat hal ini Populasi Komunitas Suku Sasak bisa dikatakan cukup besar dan layak disandingkan dengan etnis lain di Indonesia.

Tapi Tahukah Semeton dari mana asal usul Suku sasak ? , ” Siapa Papuk Baloq orang sasak?”. Saya yakin seyakin yakinnya, sangat teramat sedikit dari kita yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Satu Minggu yang lalu, Komunitas Sasak yang tergabung dalam milis Komunitas Sasak mengadakan diskusi kecil tentang hal ini, jauh memang kalau dikatakan sebagai diskusi yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tapi paling tidak banyak diantara kita yang memiliki informasi yang berbeda beda tentang asal usul Papuk Baloq Sasak.

Dari penelusuran kecil kecilan, terungkap bahwa Suku Sasak berasal dari Vietname, bersumber dari miripnya Bahasa / Base Sasak dengan Bahasa di vietnam. Ada juga semeton sasak yang sekarang ini bekerja di sektor Pariwisata di Lombok yang sempat bertemu dengan turis dari Philipine, yang bikin semeton kita ini terkejut, ada banyak kesamaan antara bahasa sasak dengan bahasa si turis, ya Bahasa Tagalog, apakah ini artinya Papuk Baloq kita dari philipine?. Ada banyak teori yang biasa dipakai oleh para ahli untuk menelusuri asal usul suatu etnis, salah satunya adalah dari bahasa yang mereka pergunakan, fisik mereka dan sejarah para tetuanya. Mari kita coba telusuri satu persatu.

BAHASA
Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.

Menurut ethnologue yang mengumpulkan semua bahasa di dunia, Bahasa Sasak merupakan keluarga (Languages Family) dari Austronesian Malayo-Polynesian (MP), Nuclear MP, Sunda-Sulawesi dan Bali-Sasak.

Sementara kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, Walaupun secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan)

Dari Aspek Bahasa, Papuk Bloq kita bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian), Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi)

SEJARAH
Sebelum Abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada ke Lombok. Malah ada kabar kalau beliau wafat di Pulau Lombok dan dimakamkan di Lombok Timur. Pada Akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan Agama Suku Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.

Pada awal abad ke 18 Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah Mataram dan Lombok Barat, Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua daerah ini. Lombok berhasil Bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya pengusiran yang dilakukan Kerajaan Selapang (Lombok timur) dengan dibantu oleh kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas berbicara menggunakan bahasa Samawa.

Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar pada perkembangan Suku Sasak

CIRI FISIK
Sementara kalau diperhatikan secara fisik Suku Sasak ini lebih mirip orang Bali dibandingkan orang Sumbawa. Dari Aspek ini bisa jadi orang Sasak berasal dari orang Bali, nah sekarang tinggal di cari rang Bali berasal dari mana?

BUKTI OTENTIK
Beberapa minggu yang lalu, salah seorang yang membaca tulisan ini mengirimkan ke saya sebuah bukti otentik asal usul suku sasak yang disimpan keluarganya di Lombok Tengah. Bukti tersebut berupa silsilah keluarga yang berujung pada sebuah nama: Datu Pangeran Djajing Sorga (dari Majapahit, Kabangan, Jawa Timur). Dari Bukti otentik tersebut, jelaslah terlihat bahwa Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, sebenarnya berasal dari Jawa.

Sumber : sasak.org

Pidato Pelantikan Obama

Pidato Pelantikan Obama
I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.
Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because we the people have remained faithful to the ideals of our forebears, and true to our founding documents.
So it has been. So it must be with this generation of Americans.
That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.
These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land — a nagging fear that America’s decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America — they will be met.
On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.
On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.
In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the faint-hearted — for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things — some celebrated but
more often men and women obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path towards prosperity and freedom.
For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.
For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.
Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.
This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions — that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.
For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act — not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology’s wonders to raise health care’s quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.
Now, there are some who question the scale of our ambitions — who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.
What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them— that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works — whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the
answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public’s dollars will be held to account — to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day — because only then can we restore the vital trust between a
people and their government.
Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control — and that a nation cannot prosper long when it favors only
the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart — not out of charity, but because it is the surest route to our common good.
As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our founding fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the
world, and we will not give them up for expedience’s sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: know that America is a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.
Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.
We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort — even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat,
and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.
For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus — and non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help
but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.
To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society’s ills on the West — know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who
cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.
To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world’s resources without regard to effect. For the world has
changed, and we must change with it.
As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment — a moment that will define a generation — it is precisely this spirit that must inhabit us all.
For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter’s courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent’s willingness to nurture a child, that finally decides our fate.
Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends — hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism — these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility — a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.
This is the price and the promise of citizenship.
This is the source of our confidence — the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.
This is the meaning of our liberty and our creed — why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent mall, and why a man whose father less than sixty years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.
So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America’s birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
“Let it be told to the future world … that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive…that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet (it).”
America, in the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children’s children that when we were tested we refused to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God’s grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Problem Solving Approach

Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving Approach)

Ada 5 langkah, yakni:

1. Problem Identification

Ketika kita menemukan sebuah masalah. Baik itu masalah teknis atau kehidupan sehari-hari karena pada umunya semua masalah memiliki kronologis jalan keluar yang hamper sama. Sebagai contohnya karena saya akan menghadapi UTS tanggal 28 besok dan belum benar-benar siap, serta diperparah sekarang bulan puasa maka ini bisa dijadikan contoh masalah.

2. Synthesis

Sebuah gagasan awal secara keseluruhan untuk memecahkan masalah. Langkah selanjutnya masalah di atas adalah saya harus berusaha lebih keras untuk mengejar ketertinggalan dan tidak menganut sistem belajar kebut semalam.

3. Analysis

Kalau di buku Holtzapple Reece dijelaskan bahwa pada langkah ini kuncinya adalah mengubah masalah fisika menjadi model matematikanya. Karena saya sudah terlanjur memberi contoh masalah kehidupan nyata maka jika ditinjau dari langkah ini maka saya harus menentukan langkah riil step by step, misalnya belajar terorganisasi atau berurutan dan berkelanjutan.

4. Application

Langkah application di sini kita melaksanakan semua gagasan dan langkah-langkah yang kita rencanakan sebelumnya.

5. Comprehension

Di langkah ini kita menggunakan teori yang sudah ada. Untuk kasus yang telah saya contohkan teori yang ada adalah mitos kalau belajar sebelum tidur itu baik dan jauh lebih baik belajar pada saat shubuh atau fajar. Di jelaskan dalam buku Misteri Shalat Shubuh bahwa banyak keajaiban atau mukjizat yang terjadi kala fajar.

THE WORLD SITUATION

where are events taking us?
'1000 people dead!' 'New war situation'. 'Flood kills hundreds!' It is difficult to watch TV news, or read a newspaper, without seeing sadness everywhere.
Where is this world going? As we come to the end of the twentieth century, many are looking back over the last 100 years. What do we see? More wars than can be counted. In the biggest, the 2nd World War, it has been estimated that, including events leading to it, and indirect deaths, a hundred million people died. Right now, there are 30 serious wars in progress. Expenditure on armaments and defense around the world in 1995 was $800 billion, of which $15.4 billion was by poor developing countries!
General Lebed, Russian security chief, speaking in Moscow in September 96, estimated that 90,000 people have died in the war in Chechnya.
AIDS
Many countries struggle with pollution. The burning of fossil fuels is causing world temperatures to rise, which may have terrible effects on some countries. AIDS is sweeping many parts of the world. Maybe it does not affect your country much. But in one country recently (we are not allowed to say which one) an AIDS worker has told us privately that a test on one particular high school class gave 98% HIV infection rate!
Maybe the old slave trade has been almost closed. But the new slave trade is the sex industry. There are estimated to be 10 million children involved in sex industry around the world! The UN estimates that one million children enter child prostitution every year. The picture is shocking.
SEX FOR SALE
"Prostitution and trafficking of women and children is the third largest income-earner globally. The only two bigger are drug trafficking and arms sales." (source: Jonathan Nambu, 'Samaritana Bulletin' 1996)
40,000 of the 100,000 prostitutes in Bangkok are 14 or younger. In Sri Lanka, researchers believe there are at least 10,000 boy prostitutes, receiving as little as one dollar per day.
Although some illnesses have been beaten, others have found new resistance. Malaria kills 3 million children a year. New types of tuberculosis are resistant to drugs, and difficult to treat.
FAMILY BREAKUP
In Europe, nearly half of all marriages end in divorce. Many children never have the love of two parents. We abort at least 40 million babies a year, worldwide.
The twentieth century has been the century of the refugee. 100 million people have been forced to move from their homes by war, famine, hatred.
But does the world stop to think what is wrong? Some people and governments try to make changes. But these changes have been compared to "moving the deckchairs on the 'Titanic".
(The 'Titanic' was the famous passenger ship which hit an iceberg in April 1912, sinking with 1517 people drowned.)
Where is the world going?
What do you think?

Kaum Terpelajar Dan Lokomotif Perubahan ( Sebuah Tinjuan Terhadap Peran Mahasiswa Dewasa Ini)


Beberapa saat yang lalu, tokoh Soe Hok Gie mulai hangat di perbincangkan serta telah menjadi sebuah diskursusu di kalangan remaja Indonesia. Memang betul, Soe Hok Gie merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pergerakan mahasiswa tahun 1960 an. Seorang aktivis yang selau menyuarakan perlawanan terhadap tindakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, melakukan aksi demonstrasi di jalan ? jalan sebagai sebuah bentuk perlawanan beliau terhadap kebijakan pemerintah di zamannya, sayang Gie terperangkap gas beracun di sebuah puncak pegununghan dalam perjalanan alam yang menyebabkan beliau mati muda.

Sebetulnya ada satu tokoh lagi yang menjadi simbol pergerakan mahasiswa dalam melawan segla macam bentuk penindasan kebijakan pemerintah pada tahun 60 an beliau adalah Ahmad Wahid, seorang Madura yang selalu melakukan perenungan diri terhadap realitas yang ada dan melakukan kritik terhadap realitas dassein yang bertentangan dengan dassolen. Sayang beliau juga mati muda. Yang akhirnya perjuangan kedua aktivis tersebut terhenti di tengah jalan dan belum menemukan ujung dari sebuah bentuk perlawanan. Ketika diibaratkan kedua tokoh ini bagaikan dua ?mata keeping logam yang saling melengkapi?. kedua tokoh tersebut merupakan sebagian kecil dari sebuah bentuk peran mahasiswa/kaum terpelajar melawan realitas yang bertentangan dengan idealnya. Tetapi pada hari ini mulut yang menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat hilang bagaikan di telan bumi seiring dengan pengaruh globalisasi dan makin timbulnya sifat induvidualistis manusia dalam berinteraksi, sehingga masyarakat bersifat apatis terhadap perubahan sosial yang terjadi

Sosok Gie dan Ahmad Wahid kedua aktivis muda ini dapat di jadikan sebagai inspirasi untuk melawan segala macam bentuk penindasan dan tidak keberpihakan birokrasi kepada rakyat. Hal ini terbukti dengan munculnya gelombang perlawanan kaum terpelajar pada tahun 1998, terhadap barbagai macam bentuk tindakan pemerintahan yang otoriter, represif, sentralistis. yang dari gelombang perlawanan tersebut adalah tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang di pimpin Soeharto. Mahasiswa menunjukkan teringnya bahwa mereka mampu menjadi garda depan sebagai ?agnet social of change?. Dan menjadi orang ? orang yang berpihak kepada rakyat, atas segala macam ketidakberpihakan pemerintah.

Terlepas dari masalah gelombang perlawanan kaum terpelajar pada tahun1998 tersebut, mari songsong hari esok dengan secercah cahaya, dengan berkaca pada realitas yang ada pada hari ini. Mengutip bahasnya Soe Hok Gie ?the day is tomorrow, the tomorrow of the sruggle for a better life?. Tuntutan modernitas dengan pengaruh globalisasinya menyebabkan banyak dari kaum terpelajar terspesifik kepada mahasiswa tidak mengetahui esensi dan peran utama dari mahasiswa itu sendiri, hari ini bukti empirik yang ada membuktikan bahwa mahasiswa serasa makin kehilangan ghirah/semangat berjuang untuk melawan penindasan yang di lakukan oleh pemerintah, yang tidak berpihak kepada rakyat dan mahasiswa lebih cenderung bersifat apatis dalam melihat fenomena kehidupan sosial bangsa Indonesia khusunya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mahasiswa kehilangan ghirrah untuk melakukan perlawanan atau malahahan tidak memiliki kapasitas intelektual dan basic untuk melakukan perlawanan tersebut????

Disorientasi gerak mahasiswa?

Bukti empirik dan riil di lapangan menyebutkan pada hari ini jumlah mahasiswa yang cendrung bersikap apatis dan hedonis yang selalu mengikuti perkembangan zaman dengan segenap perubahan global, lebih banyak daripada mahasiswa yang mau berdiskusi dan senantiasa menyuarakan hak ? hak dasar rakyat. Memang dilematika gerak dan langkah mahasiswa tersebut tak dapat kita salahkan sepenuhnya kepada mahasiswa itu sendiri, tetapi banyak element penting yang terkait mengapa hal ini bisa terjadi dan mengalami degradasi.

Kecendrungan seperti itu tidak dapat kita elakkan, karena tuntutan zaman dengan segenap modernitasnya yang menyebabkan mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya bertindak halnya orang yang berglamor ria dan cendrung bersikap hedon. Untuk itu perlu di lakukan sebuah usaha dari mahasiswa itu sendiri, untuk merubah pola dan tingkah laku diri mereka sendiri dan cobalah melihat realitas bangsa ini yang acap kali mengalami degradasi nilai di segala bidang. Jangan kita larut akan kehidupan globalisasi yang takkan ada hentinya, tetapi perlu sebuah upaya kontemplasi dan memahami kembali peran awal kaum terpelajar dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia, kita bisa melihat contoh dari sosok Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid dalam melakukan tindakan yang menentang setiap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil dan selalu menyuarakan hak ? hak rakyat. Kalau kita terinspirasi oleh gebrakan sosial yang di lakukan oleh kedua tokoh tersebut dan melakukannya dalam sebuah bentuk rill action dengan selalu memperjuangkan hak ? hak rakyat, maka bukan tidak mustahil akan muncul sebuah frame publik yang berbunyi ?manusia baru abad 20?. Sekarang kembali pada diri anda, apakah ingin menjadi agen sosial untuk perubahan atau memilih apatis dalam bersikap sebagai sebuah konsekuensi?????